Get Adobe Flash player

ads
Unknown SOLUSI ISLAM TERHADAP BEBERAPA MASALAH AKTUAL SOLUSI ISLAM TERHADAP BEBERAPA MASALAH AKTUAL Pengantar Munculnya sejumlah permasalahan aktual dan kekinian di tengah-tengah umat harus m... 5

SOLUSI ISLAM TERHADAP BEBERAPA MASALAH AKTUAL

SOLUSI ISLAM TERHADAP
BEBERAPA MASALAH AKTUAL

Pengantar
Munculnya sejumlah permasalahan aktual dan kekinian di tengah-tengah umat harus mendapat respons yang memadai, terutama tentang status hukum atas permasalahan tersebut, tentu dalam tinjauan Islam. Karena itu, hadirnya sejumlah permasalahan di tengah-tengah umat juga meniscayakan adanya keharusan bagi para ulama' untuk mengkaji, membahas dan merumuskan hukumnya, agar kelak bisa menjadi panduan bagi umat. Tanpa itu semua, niscaya umat akan berjalan tanpa pedoman, yang pada akhirnya mereka bisa terjerumus ke lembah kenistaan.
Tepat sekali ungkapan Syaikh 'Abd al-'Aziz al-Badri dalam bukunya, al-Islam, bayna al-'Ulama' wa al-Hukkam:
Tanpa ulama', manusia akan bergelimang dalam kebodohan. Mereka akan senantiasa disandera syaitan, baik dari kalangan jin maupun manusia, dari kebenaran, untuk dibenamkan dalam kesesatan dan gemuruh hawa nafsu dari segala sisi.
Maka, dengan cahaya ilmu ulama' Allah pun menurunkan nikmat-Nya kepada penghuni bumi. Mereka bagaikan lentera di tengah kegelapan, para pemimpin yang membawa ke arah hidayah, serta hujah Allah di muka bumi. Karena itu, para ulama' mempunyai tanggungjawab keagamaan yang besar dalam mengarahkan langkah umat, sehingga terarah sesuai dengan Islam, yang menjadi pedoman hidup mereka. Tanggungjawab mereka tentu berbeda dengan orang awam, atau orang biasa yang tidak dianugerahi ilmu.
Hanya saja, fenomena kedalaman ilmu para ulama' ternyata tidak berbanding lurus dengan ketakwaan, dan produk hukum yang dihasilkan. Terkadang, dengan kedalaman ilmu para ulama', justru banyak fatwa pesanan sekedar untuk mencari legalitas, atau bahkan sebagai justifikasi dari sebuah kebijakan, atau langkah yang sebenarnya sudah keliru, yang nota bene jelas bertentangan dengan Islam. Maka, hanya dengan modal ketakwaan kepada Allahlah, kedalaman ilmu para ulama' tersebut benar-benar akan menghasilkan produk hukum yang sesuai ketentuan Islam, dan benar-benar lurus. Jauh dari sekedar produk legalitas atau pembenaran.
Di sinilah kearifan, kehati-hatian, keterikatan dan ketundukan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, yang benar-benar akan mengantarkan para ulama' untuk menjadi pewaris Nabi. Dengan bermodalkan kedalaman ilmu dan ketakwaannya, para ulama' juga akan mampu menguji keabsahan pendapat, hukum dan pandangan keislamannya. Dari sana, pendapat, hukum dan pandangan yang sahih bisa ditetapkan. Mana yang lemah akan dibuang. Demikian seterusnya.
Berangkat dari tanggungjawab itulah, maka berikut ini sejumlah persoalan aktual coba dibahas, tentu dengan pandangan Islam.
Seputar Masalah Sekularisme:
Inti faham sekularisme menurut An-Nabhani (1953) adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashlud-din ‘anil-hayah). Menurut Nasiwan (2003), sekularisme di bidang politik ditandai dengan 3 hal, yaitu: (1) Pemisahan pemerintahan dari ideologi keagamaan dan struktur eklesiatik, (2) Ekspansi pemerintah untuk mengambil fungsi pengaturan dalam bidang sosial dan ekonomi, yang semula ditangani oleh struktur keagamaan, (3) Penilaian atas kultur politik ditekankan pada alasan dan tujuan keduniaan yang tidak transenden.
Tahun yang dianggap sebagai cikal bakal munculnya sekularisme adalah 1648. Pada tahun itu telah tercapai perjanjian Westphalia. Perjanjian itu telah mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun antara Katholik dan Protestan di Eropa. Perjanjian tersebut juga telah menetapkan sistem negara merdeka yang didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus dan Gereja Katholik Roma (Papp, 1988). Inilah awal munculnya sekularisme. Sejak itulah aturan main kehidupan dilepaskan dari gereja yang dianggap sebagai wakil Tuhan. Asumsinya adalah bahwa negara itu sendirilah yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan warganya, sehingga negaralah yang layak membuat aturan untuk kehidupannya. Sementara itu, Tuhan atau agama hanya diakui keberadaannya di gereja-gereja saja.
Awalnya sekularisme memang hanya berbicara hubungan antara agama dan negara. Namun dalam perkembangannya, semangat sekularisme tumbuh dan berbiak ke segala lini pemikiran kaum intelektual pada saat itu. Sekularisme menjadi bahan bakar sekaligus sumber inspirasi ke segenap kawasan pemikiran. Paling tidak ada tiga kawasan penting yang menjadi sasaran perbiakan sekularisme, sebagaimana yang akan diungkap dalam tulisan ini:
a- Pengaruh sekularisme di bidang akidah
Semangat sekularisme ternyata telah mendorong munculnya liberalisasi dalam berfikir di segala bidang. Kaum intelektual Barat ternyata ingin sepenuhnya membuang segala sesuatu yang berbau doktrin agama (Altwajri, 1997). Mereka sepenuhnya ingin mengembalikan segala sesuatunya kepada kekuatan akal manusia. Termasuk melakukan reorientasi terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hakikat manusia, hidup dan keberadaan alam semesta ini (persoalan aqidah).
Altwajri memberi contoh penentangan para pemikir Barat terhadap faham keagamaan yang paling fundamental di bidang aqidah adalah ditandai dengan munculnya berbagai aliran pemikiran seperti: pemikiran Marxisme, Eksistensialisme, Darwinisme, Freudianisme dsb., yang memisahkan diri dari ide-ide metafisik dan spiritual tertentu, termasuk gejala keagamaan. Pandangan pemikiran seperti ini akhirnya membentuk pemahaman baru berkaitan dengan hakikat manusia, alam semesta dan kehidupan ini, yang berbeda secara diametral dengan faham keagamaan yang ada. Mereka mengingkari adanya Pencipta, sekaligus tentu saja mengingkari misi utama Pencipta menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Mereka lebih suka menyusun sendiri, melogikakannya sediri, dengan kaidah-kaidah filsafat yang telah disusun dengan rapi.
b- Di bidang pemerintahan
Dalam bidang pemerintahan, yang dianggap sebagai pelopor pemikiran modern dalam bidang politik adalah Niccola Machiavelli, yang menganggap bahwa nilai-nilai tertinggi adalah yang berhubungan dengan kehidupan dunia dan dipersempit menjadi nilai kemasyhuran, kemegahan dan kekuasaan belaka. Agama hanya diperlukan sebagai alat kepatuhan, bukan karena nilai-nilai yang dikandung agama itu sendiri (Nasiwan, 2003). Disamping itu muncul pula para pemikir demokrasi seperti John Locke, Montesquieu dll. yang mempunyai pandangan bahwa pemerintahan yang baik adalah pemerintahan konstitusional yang mampu membatasi dan membagi kekuasaan sementara dari mayoritas, yang dapat melindungi kebebasan segenap individu-individu rakyatnya. Pandangan ini kemudian melahirkan tradisi pemikiran politik liberal, yaitu sistem politik yang melindungi kebebasan individu dan kelompok, yang didalamnya terdapat ruang bagi masyarakat sipil dan ruang privat yang independen dan terlepas dari kontrol negara (Widodo, 2004). Konsep demokrasi itu kemudian dirumuskan dengan sangat sederhana dan mudah oleh Presiden AS Abraham Lincoln dalam pidatonya tahun 1863 sebagai: “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” (Roberts & Lovecy, 1984).
c- Di bidang ekonomi
Dalam bidang ekonomi, mucul tokoh besarnya seperti Adam Smith, yang menyusun teori ekonominya berangkat dari pandangannya terhadap hakikat manusia. Smith memandang bahwa manusia memiliki sifat serakah, egoistis dan mementingkan diri sendiri. Smith menganggap bahwa sifat-sifat manusia seperti ini tidak negatif, tetapi justru sangat positif, karena akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan pembangunan secara keseluruhan. Smith berpendapat bahwa sifat egoistis manusia ini tidak akan mendatangkan kerugian dan merusak masyarakat sepanjang ada persaingan bebas. Setiap orang yang menginginkan laba dalam jangka panjang (artinya serakah), tidak akan menaikkan harga di atas tingkat harga pasar (Deliarnov, 1997).
d- Di bidang sosiologi
Dalam bidang sosiologi, muncul pemikir besarnya seperti Auguste Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim dsb. Sosiologi ingin berangangkat untuk memahami bagaimana masyarakat bisa berfungsi dan mengapa orang-orang mau menerima kontrol masyarakat. Sosiologi juga harus bisa menjelaskan perubahan sosial, fungsi-fungsi sosial dan tempat individu di dalamnya (Osborne & Loon, 1999). Dari sosiologi inilah diharapkan peran manusia dalam melakukan rekayasa sosial dapat lebih mudah dan leluasa untuk dilakukan, ketimbang harus ‘pasrah’ dengan apa yang dianggap oleh kaum agamawan sebagai ‘ketentuan-ketentuan’ Tuhan.
e- Di bidang pengamalan agama
Dalam pengamalan agama-pun ada prinsip sekularisme yang amat terkenal yaitu faham pluralisme agama yang memiliki tiga pilar utama (Audi, 2002), yaitu: prinsip kebebasan, yaitu negara harus memperbolehkan pengamalan agama apapun (dalam batasan-batasan tertentu); prinsip kesetaraan, yaitu negara tidak boleh memberikan pilihan suatu agama tertentu atas pihak lain; prinsip netralitas, yaitu negara harus menghindarkan diri pada suka atau tidak suka pada agama.
Dari prinsip pluralisme agama inilah muncul pandangan bahwa semua agama harus dipandang sama, memiliki kedudukan yang sama, namun hanya boleh mewujud dalam area yang paling pribagi, yaitu dalam kehidupan privat dari pemeluk-pemeluknya.
f- Pengaruh sekularisme di bidang akademik
Di bidang akademik, kerangka keilmuan yang berkembang di Barat mengacu sepenuhnya pada prinsip-prinsip sekularisme. Hal itu paling tidak dapat dilihat dari kategorisasi filsafat yang mereka kembangkan yang mencakup tiga pilar utama pembahasan, yaitu (Suriasumantri, 1987): filsafat ilmu, yaitu pembahasan filsafat yang mengkaji persoalan benar atau salah; filsafat etika, pembahasan filsafat yang mengkaji persoalan baik atau buruk; filsafat estetika, pembahasan filsafat yang mengkaji persoalan indah atau jelek.
Jika kita mengacu pada tiga pilar utama yang dicakup dalam pembahasan filsafat tersebut, maka kita dapat memahami bahwa sumber-sumber ilmu pengetahuan hanya didapatkan dari akal manusia, bukan dari agama, karena agama hanya didudukkan sebagai bahan pembahasan dalam lingkup moral dan hanya layak untuk berbicara baik atau buruk (etika), dan bukan pembahasan ilmiah (benar atau salah).
Dari prinsip dasar inilah ilmu pengetahuan terus berkembang dengan berbagai kaidah metodologi ilmiahnya yang semakin mapan dan tersusun rapi, untuk menghasilkan produk-produk ilmu pengetahuan yang lebih maju. Dengan prinsip ilmiah ini pula, pandangan-pandangan dasar berkaitan dengan aqidah maupun pengaturan kehidupan manusia sebagaimana telah diuraikan di atas, semakin berkembang, kokoh dan tak terbantahkan karena telah terbungkus dengan kedok ilmiah tersebut.
Dari seluruh uraian singkat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sekularisme telah hadir di dunia ini sebagai sebuah sosok alternatif yang menggantikan sepenuhnya peran Tuhan dan aturan Tuhan di dunia ini. Hampir tidak ada sudut kehidupan yang masih menyisakan peran Tuhan di dalamnya, selain tersungkur di sudut hati yang paling pribadi dari para pemeluk-peluknya yang masih setia mempertahankannya. Entah mampu bertahan sampai berapa lama?
Pandangan Islam terhadap Sekularisme:
Jika sebuah ide telah menjadi sebuah raksasa yang menggurita, maka tentunya akan sangat sulit untuk melepaskan belenggu tersebut darinya. Terlebih lagi ummat Islam sudah sangat suka dan jenak dengan tata kehidupan yang sangat sekularistik tersebut. Dan sebaliknya, mereka justru sangat khawatir dan takut jika penataan negara ini harus diatur dengan syari’at Islam. Mereka khawatir, syari’at Islam adalah pilihan yang tidak tepat untuk kondisi masyarakat nasional dan internasional saat ini, yang sudah semakin maju, modern, majemuk dan pluralis. Mereka khawatir, munculnya syari’at Islam justru akan menimbulkan konflik baru, terjadinya disintegrasi, pelanggaran HAM, dan mengganggu keharmonisan kehidupan antar ummat beragama yang selama ini telah tertata dan terbina dengan baik (menurut mereka).
Untuk dapat menjawab persoalan ini, marilah kita kembalikan satu-per satu masalah ini pada bagaimana pandangan al-Qur’an terhadap prinsip-prinsip sekularisme di atas, mulai dari yang paling mendasar, kemudian turunannya. Kita mulai dari firman Allah dalam Q.S. al-Insan: 2-4:
]هَلْ أَتَى عَلَى الإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا (1) إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا (2) إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا (3) إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ سَلَاسِلَ وَأَغْلاَلاً وَسَعِيرًا[
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya dengan jalan yang lurus, ada yang bersyukur ada pula yang kafir. Sesungguhnya Kami menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala”
Ayat-ayat di atas memberitahu dengan jelas kepada manusia, mulai dari siapa sesungguhnya Pencipta manusia, kemudian untuk apa Pencipta menciptakan manusia hidup di dunia ini. Hakikat hidup manusia di dunia ini tidak lain adalah untuk menerima ujian dari Allah SWT, berupa perintah dan larangan. Allah juga memberi tahu bahwa datangnya petunjuk dari Allah untuk hidup manusia bukanlah pilihan bebas manusia (sebagaimana prinsip HAM), yang boleh diambil, boleh juga tidak. Akan tetapi, merupakan kewajiban asasi manusia (KAM), sebab jika manusia menolaknya (kafir) maka Allah SWT telah menyiapkan siksaan yang sangat berat di akherat kelak untuk kaum kafir tersebut.
Selanjutnya, bagi mereka yang berpendapat bahwa jalan menuju kepada petunjuk Tuhan itu boleh berbeda dan boleh dari agama mana saja (yang penting tujuan sama), sebagaimana yang diajarkan dalam prinsip pluralisme agama di atas, maka hal itu telah disinggung oleh Allah dalam firmanNya Q.S. Ali ‘Imran: 19 dan 85:
“Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam”
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dan di akhirat kelak dia termasuk orang-orang yang merugi (masuk neraka)”.
Walaupun Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan yang diridhai, namun ada penegasan dari Allah SWT, bahwa tidak ada paksaan untuk masuk Islam. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al Baqarah: 256:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah”.
Jika Islam harus menjadi satu-satunya agama pilihan, yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah, sejauh mana manusia harus melaksanakan agama Islam tersebut? Allah SWT memberitahu kepada manusia, khususnya yang telah beriman untuk mengambil Islam secara menyeluruh. Firman Allah SWT, dalam Q.S. Al Baqoroh: 208:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnaya setan itu musuh yang nyata bagimu”.
Perintah untuk masuk Islam secara keseluruhan juga bukan merupakan pilihan bebas, sebab ada ancaman dari Allah SWT, jika kita mengambil Al Qur’an secara setengah-setengah. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al Baqoroh: 85:
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar kepada sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak akan lengah dari apa yang kamu perbuat”.
Walaupun penjelasan Allah dari ayat-ayat di atas telah gamblang, namun masih ada kalangan ummat Islam yang berpendapat bahwa kewajiban untuk terikat kepada Islam tetap hanya sebatas persoalan individu dan pribadi, bukan persoalan hubungan antar manusia dalam bermasyarakat dan bernegara. Untuk menjawab persoalan itu ada banyak ayat yang telah menjelaskan hal itu, di antaranya Q.S. Al Maidah: 48:
“Maka hukumkanlah di antara mereka dengan apa yang Allah turunkan, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka (dengan meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepada engkau”.
Perintah tersebut menunjukkan bahwa Al-Qur’an diturunkan juga berfungsi untuk mengatur dan menyelesaikan perkara yang terjadi di antara manusia. Dan dari ayat ini juga dapat diambil kesimpulan tentang keharusan adanya pihak yang mengatur, yaitu penguasa negara yang bertugas menerapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal itu diperkuat dalam Q.S. An Nissa’: 59:
“Hai orang-orang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Selain itu juga ada pembatasan dari Allah SWT, bahwa yang berhak untuk membuat hukum hanyalah Allah SWT. Manusia sama sekali tidak diberi hak oleh Allah untuk membuat hukum, tidak sebagaimana yang diajarkan dalam prinsip demokrasi. Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al An’am: 57:
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”.
Oleh karena itu tugas manusia di dunia hanyalah untuk mengamalkan apa-apa yang telah Allah turunkan kepadanya, baik itu menyangkut urusan ibadah, akhlaq, pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan dsb. Jika manusia termasuk penguasa enggan untuk menerapkan hukum-hukum Allah, maka ada ancaman yang keras dari Allah SWT, diantaranya, firman Allah dalam Q.S. Al Maidah: 44, 45 dan 47:
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (44). … orang yang zalim (45). … orang yang fasik (47)”.
Terhadap mereka yang terlalu khawatir terhadap dengan diterapkannya syari’at Islam, dan menganggap akan membahayakan kehidupan ini, maka cukuplah adanya jaminan dari firman Allah SWT dalam Q.S. Al Anbiya’: 107:
“Dan tiadalah Kami mengutusmu kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Ayat tersebut menerangkan bahwa munculnya rahmat itu karena diutusnya Nabi (yang membawa Islam), bukan yang sebalikya, yaitu setiap yang nampaknya mengandung maslahat itu pasti sesuai dengan Islam. Dengan demikian jika ummat manusia ingin mendapatkan rahmat dari Tuhannya, tidak bisa tidak melainkan hanya dengan menerapkan dan mengamalkan syari’at Islam. Selain itu, ayat tersebut juga menegaskan bahwa rahmat tersebut juga berlaku untuk muslim, non muslim maupun seluruh semesta alam ini. []
Seputar Masalah Pluralisme:
Istilah Pluralisme (agama) sebenarnya mengandung 2 (dua) hal sekaligus; Pertama, deskripsi realitas bahwa di sana ada keanekaragaman agama. Kedua, perspektif atau pendirian filosofis tertentu menyikapi realitas keanekaragaman agama yang ada.
Hal itu misalnya dapat ditelaah dalam penjelasan Josh McDowell mengenai definisi pluralisme. Menurut McDowell, ada dua macam pluralisme; Pertama, pluralisme tradisional (Social Pluralism) yang kini disebut “negative tolerance”. Pluralisme ini didefinisikan sebagai “respecting others beliefs and practices without sharing them” (menghormati keimanan dan praktik ibadah pihak lain tanpa ikut serta (sharing) bersama mereka). Kedua, pluralisme baru (Religious Pluralism) disebut dengan “positive tolerance” yang menyatakan bahwa “every single individual's beliefs, values, lifestyle, and truth claims are equal" (setiap keimanan, nilai, gaya hidup dan klaim kebenaran dari setiap individu, adalah sama (equal).[1]
Dari pengertian pluralisme agama McDowell di atas, jelas bahwa yang dia sampaikan bukan sekedar fakta, tapi sudah menyangkut opini, yaitu suatu sikap atau pandangan filosofis tertentu dalam menilai fakta. Pendirian filosofis itu nampak dari penilaian, bahwa semua keimanan, nilai, gaya hidup dan klaim kebenaran, adalah sama/setara (equal).
Maka dari itu, adalah suatu penyesatan atau disinformasi yang disengaja, kalau dikatakan bahwa pluralisme adalah hukum Tuhan atau sunnatullah. Benar, bahwa adanya keanekaragaman realitas, itu sunnatullah. Tapi perspektif atau pendirian filosofis tertentu menyikapi realitas plural itu, jelas bukan sunnatullah yang bersifat universal, melainkan suatu pendapat yang unique dan mengandung nilai atau pandangan hidup tertentu (value-bound).
Sebagai jalan keluar dan upaya klarifikasi, sebaiknya digunakan dua istilah, yaitu pluralitas, yang menunjuk pada fakta adanya kemajemukan, dan pluralisme, yang menunjuk pada opini atau perspektif tertentu dalam memandang realitas plural yang ada.
Terlepas dari itu, wacana pluralisme agama yang marak dewasa ini memang patut dikritisi secara cermat. Sebab di samping ada kerancuan pengertian seperti dijelaskan di atas (dalam pluralisme itu terkandung deskripsi fakta dan pendirian filosofis sekaligus), juga ada beberapa hal lain yang patut untuk dikritisi. Setidaknya ada 4 (empat) poin kritik terhadap pluralisme agama:
Pertama, aspek normatif. Secara normatif, yaitu dari kacamata Aqidah Islamiyah, pluralisme agama bertentangan secara total dengan Aqidah Islamiyah. Sebab pluralisme agama menyatakan bahwa semua agama adalah benar. Jadi, Islam benar, Kristen benar, Yahudi benar, dan semua agama apa pun juga adalah sama-sama benar. Ini menurut Pluralisme. Adapun menurut Islam, hanya Islam yang benar,[2] agama selain Islam adalah tidak benar dan tidak diterima oleh Allah SWT.[3]
Biasanya para penganjur pluralisme berdalil dengan QS 2:62 dan QS 5:69. Dalam QS 2:62 Allah berfirman (artinya) :
]إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ[
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang Yahudi, Nashrani, dan Shabiin, barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala dari Tuhan mereka dan tidak ada rasa takut atas mereka dan mereka tidak pula bersedih hati.” (QS Al-Baqarah : 62)
Ayat itu oleh kaum pluralis-inklusif, dipahami sebagai pembenaran agama selain Islam, yaitu Yahudi, Kristen, dan Shabiin. Jadi, Islam, Yahudi, Kristen, Shabiin sama-sama benarnya.
Pemahaman seperti itu salah, karena dua alasan. Pertama, pemahaman itu mengabaikan ayat-ayat lain yang menjelaskan kekafiran golongan Yahudi dan Nasrani, misalnya ayat dalam QS Al-Bayyinah atau QS 5:72-75. Jadi, pemahaman kaum pluralis itu didasarkan pada metode penafsiran yang mengucilkan satu ayat, lalu ayat itu dipenjara dalam satu kotak sempit (bernama pluralisme), sementara ayat-ayat lain diabaikan begitu saja. Kedua, orang Yahudi, Kristen, dan Shabiin yang selamat, maksudnya adalah mereka yang beriman dan menjalankan amal saleh secara benar sebelum datangnya Muhammad SAW. Bukan setelah diutusnya Muhammad SAW (orang Kristen dan Yahudi sekarang). Sababun Nuzul ayat ini sebagaimana diriwayatkan Al-Wahidi dan As-Suyuthi, adalah adanya pertanyaan dari sahabat bernama Salman Al-Farisi RA kepada Nabi SAW tentang nasib kawan-kawannya dulu (Kristen) sebelum dia masuk Islam. Nabi menjawab,”Mereka di neraka.” Lalu turunlah ayat di atas yang menerangkan nasib baik mereka kelak di Hari Kiamat (Lihat kitab Lubabun Nuqul, As Suyuthi, dan Asbabun Nuzul, Al-Wahidi)
Kedua, aspek orisinalitas. Asal-usul paham pluralisme bukanlah dari umat Islam, tapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok. Misalnya pada 1527, di Paris terjadi peristiwa yang disebut The St Bartholomeus Day`s Massacre. Pada suatu malam di tahun itu, sebanyak 10.000 jiwa orang Protestan dibantai oleh orang Katolik. Peristiwa mengerikan semacam inlah yang lalu mengilhami revisi teologi Katolik dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Semula diyakini bahwa extra ecclesiam nulla salus (outside the church no salvation), tak ada keselamatan di luar gereja. Lalu diubah, bahwa kebenaran dan keselamatan itu bisa saja ada di luar gereja (di luar agama Katolik/Protestan). Jadi, paham pluralisme agama ini tidak memiliki akar sosio historis yang genuine dalam sejarah dan tradisi Islam, tapi diimpor dari setting sosio historis kaum Kristen di Eropa dan AS.
Ketiga, aspek inkonsistensi gereja. Andaikata hasil Konsili Vatikan II diamalkan secara konsisten, tentunya gereja harus menganggap agama Islam juga benar, tidak hanya agama Kristen saja yang benar. Tapi, fakta menunjukkan bahwa gereja tidak konsisten. Buktinya, gereja terus saja melakukan kristenisasi yang menurut mereka guna menyelamatkan domba-domba yang sesat (baca : umat Islam) yang belum pernah mendengar kabar gembira dari Tuhan Yesus. Kalau agama Islam benar, mengapa kritenisasi terus saja berlangsung? Ini artinya, pihak Kristen sendiri tidak konsisten dalam menjalankan keputusan Konsili Vatikan II tersebut.
Keempat, aspek politis. Secara politis, wacana pluralisme agama dilancarkan di tengah dominasi kapitalisme yang Kristen, atas Dunia Islam. Maka dari itu, arah atau sasaran pluralisme patut dicurigai dan dipertanyakan, kalau pluralisme tujuannya adalah untuk menumbuhkan hidup berdampingan secara damai (co-existence peacefull), toleransi, dan hormat menghormati antar umat beragama. Menurut Amnesti Internasional, AS adalah pelanggar HAM terbesar di dunia. Sejak Maret 2003 ketika AS menginvasi Irak, sudah 100.000 jiwa umat Islam yang dibunuh oleh AS. Jadi, pertanyaannya, mengapa bukan AS yang menjadi sasaran penyebaran paham pluralisme? Mengapa umat Islam yang justru dipaksa bertoleransi terhadap arogansi AS? Bukankah AS yang sangat intoleran kepada bangsa dan umat lain, khususnya umat Islam? Bukankah tentara AS di Guantonamo (Kuba) yang membuang Al Qur`an ke dalam WC? Mengapa umat Islam yang justru dipaksa ramah, tersenyum, dan toleran kepada AS, padahal justru umat Islamlah yang menjadi korban hegemoni AS yang biadab, kejam, brutal, sadis, dan tak berperikemanusiaan?
Dari keempat gugatan terhadap pluralisme di atas, kiranya dapat dipetik suatu kesimpulan yang berharga, bahwa ide pluralisme agama wajib ditolak. Sebab ide tersebut bertentangan secara normatif dengan Aqidah Islam, tidak orisinal alias palsu karena tumbuh dalam setting sosio historis Barat, diimplementasikan secara inkonsisten, dan membahayakan umat Islam secara politis, karena akan membius umat agar tidak sadar telah diinjak-injak oleh hegemoni AS.
Tujuan akhir dari konsep pluralisme agama sangat mudah dibaca, yaitu agar umat Islam hancur Aqidahnya, sehingga hegemoni kapitalisme yang kafir atas Dunia Islam semakin paripurna dan total. Karena Barat sangat memahami, bahwa Aqidah Islam adalah rahasia atau kunci vitalitas dan kebangkitan umat Islam. Maka kalau tidak segera dihancurkan, umat Islam akan bisa menjadi potensi ancaman serius untuk hegemoni Barat di masa datang. Maka sebelum umat Islam bangkit, Aqidah Islam dalam dada mereka harus dihancurkan dan dimusnahkan, agar umat Islam takluk dan tunduk patuh sepenuh-penuhnya kepada kaum penjajah kafir. Itulah tujuan sebenarnya dari wacana pluralisme agama ini, tidak ada yang lain. []
Seputar Doa Bersama:
Aktivitas doa bersama lintas agama biasanya dilakukan oleh para pemeluk agama yang berbeda-beda dalam rangka mendoakan ataupun mengharapkan sesuatu. Mereka secara bergiliran ber-munajat menurut keyakinan masing-masing. Contoh paling dekat adalah aktivitas doa bersama antara berbagai pemeluk agama-agama guna mendoakan korban pemboman Bali atau doa bersama yang dilakukan di akhir tahun (Masehi) agar bangsa ini bisa melampaui krisis berkesinambungan, perpecahan, kehancuran, dan lain-lain.
Sesungguhnya, aktivitas doa yang dilakukan secara bersama-sama antara kaum Muslim dan penganut agama-agama lainnya tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw, dan aktivitas seperti itu diharamkan secara mutlak. Alasannya sebagai berikut:
Pertama, setiap aktivitas (amal perbuatan) seorang Muslim wajib terikat dengan hukum-hukum Islam. Teladan praktis untuk itu ada pada amal perbuatan Rasulullah saw. Allah Swt berfirman:
]وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا[
"Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah dia. Apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah." (QS. al-Hasyr [59]: 7)
Artinya, apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, tidak pernah dilegislasi (taqrîr) oleh beliau, atau tidak pernah diperintah melalui ucapan beliau—apalagi menyangkut perkara ibadah—tidak boleh dilakukan. Rasulullah saw bersabda:
»مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ«
"Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tidak aku perintahkan maka perbuatan tersebut tertolak." (HR Muslim)
Berdasarkan hal itu, aktivitas doa bersama lintas agama yang dilakukan oleh kaum Muslim bersama-sama dengan orang-orang kafir (penganut agama lain) diharamkan. Amal perbuatan tersebut tertolak.
Kedua, setiap agama memiliki hukum (syariat)-nya sendiri-sendiri. Islam adalah agama yang berbeda dengan agama apa pun di dunia. Rabb (Tuhan) kaum Muslim Satu dan berbeda dengan tuhan-tuhan agama lain. Akidah kaum Muslim pun bertentangan dan sangat bertolak belakang dengan akidah agama-agama lain. Syariat Islam berbeda dengan syariat agama lain. Dengan tegas, Allah Swt berfirman:
]قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ &لاَ أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ& وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ &وَلاَ أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ& وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ &لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ[
"Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kalian sembah. Kalian tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untuk kalian agama kalian dan untukkulah agamaku’." (Q.s. al-Kafirun [109]: 1-6)
Di samping itu, doa termasuk ibadah mahdhah yang terikat dengan tatacara yang khas yang telah ditentukan oleh Allah Swt dan Rasul-Nya. Siapa pun tidak boleh menambah-nambah ataupun menguranginya, apa pun maksudnya. Bahkan kaum Muslim tidak dibenarkan mengikuti cara-cara, langkah-langkah, dan jejak hidup orang-orang kafir (agama-agama lain). Oleh karena itu, jika Allah menegaskan bahwa Islam berbeda dengan agama-agama lain—dalam hal Zat Yang disembah maupun tatacara peribadatannya, termasuk doa—maka atas dasar apa mereka terlibat dalam aktivitas doa bersama?
Ketiga, aktivitas doa bersama lintas agama sama saja dengan menambah-nambah (sesuatu yang baru) yang sebelumnya tidak dicontohkan oleh Rasulullah saw dalam perkara ibadah (doa). Hal itu termasuk bid‘ah. Padahal, Rasulullah saw bersabda:

»إِيَّاكُمْ وَ مُحْدَثَاتُ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ«

"Hendaklah kalian jangan mengada-adakan hal-hal yang baru. Sebab, sesungguhnya mengada-adakan hal-hal baru (dalam ibadah/doa) itu adalah bid‘ah. Setiap bid‘ah itu adalah kesesatan. Setiap kesesatan (akibatnya) adalah neraka." (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah)
Keempat, aktivitas doa bersama lintas agama muncul dari peradaban Barat yang Kristen. Mereka mengesahkan aktivitas sinkretisme (percampuran akidah maupun syariat berbagai agama) dan melakukannya. Sebaliknya, Islam menolaknya. Sebab, antara yang haq dan yang bathil, serta antara keimanan dan kekufuran tidak dapat dipertemukan dan disatukan sampai kapan pun dan dengan alasan apa pun.
Untuk melemahkan akidah kaum Muslim dan untuk menghancurkan peradaban Islam, Barat telah lama mempropagandakan ajaran sinkretisme ini kepada kaum Muslim melalui tangan dan mulut anak-anak asuhnya yang Muslim. Seruan doa bersama sangat getol dikumandangkan oleh komunitas intelektual Muslim yang berdiri mengatasnamakan ‘pembela keadilan dan humanisme’. Padahal, seruannya itu berakibat pada hancurnya akidah Islam dan terhempasnya keagungan Islam dan kaum Muslim. Aktivitas doa bersama lintas agama yang dilakukan kaum Muslim bersama-sama dengan para pemeluk agama-agama lain merupakan bentuk peniru-niruan (tasyabbuh) terhadap peradaban Barat ataupun ajaran di luar Islam. Hal itu diharamkan dalam Islam. Rasulullah saw bersabda:

»لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا«

"Tidak termasuk golongan kami orang-orang yang menyerupai selain golongan kami." (HR at-Tirmidzi)
Dengan demikian, apa pun alasannya, aktivitas doa bersama lintas agama yang dilakukan dan dihadiri kaum Muslim bersama-sama dengan para pemeluk agama-agama lain—baik di tempat peribadatan salah satu agama ataupun di tempat umum (seperti pantai, lapangan, gedung pertemuan, dan sejenisnya)—adalah aktivitas tasyabbuh, bid‘ah, serta bentuk pencampuradukkan antara Islam dan kekufuran (sinkretisme) yang diharamkan secara mutlak.
Meskipun demikian, kaum Muslim dibolehkan berinteraksi bersama mereka (orang-orang kafir) dalam perkara-perkara muamalah (seperti jual beli, aktivitas pertanian, industri, perekonomian, dan sejenisnya). Untuk perkara ibadah ataupun akidah hanya satu kondisi yang dibolehkan bagi kaum Muslim untuk berada bersama-sama dengan orang-orang kafir, yaitu (berdakwah/berargumentasi) dalam rangka mengajak mereka untuk memeluk Islam. Lain tidak!
]رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ[
"Ya Allah janganlah Engkau menjadikan hati kami condong pada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk jalan (Islam) kepada kami. Karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sebab, sesungguhnya Engkaulah Pemberi rahmat dan karunia itu." (Q.s. Ali ‘Imran [3]: 8) []
Seputar Hak Cipta dan Hak Intelektual:
Permasalahan hak cipta berasal dari ideologi kapitalisme. Sedemikian getolnya negara-negara Barat dalam perlindungan hak cipta, mereka sampai membentuk lembaga internasional yang mengelola persoalan ini, yaitu WIPO (World Intellectual Property Organization). Lembaga ini bertugas mengontrol dan menjaga berbagai rekomendasi dan kesepakatan yang diratifikasi oleh banyak negara di dunia. Kita belum lupa bagaimana AS memaksa negeri Cina supaya meratifikasi berbagai rekomendasi tentang hak cipta, yang memungkinkan AS memasuki perekonomian Cina. Apalagi Cina amat ngotot ingin masuk sebagai anggota WTO. Padahal, pada tahun 1995, WTO telah mengesahkan adanya perlindungan hak cipta, dan WIPO menjadi salah satu bagiannya. WTO mensyaratkan negara-negara yang ingin bergabung harus terikat dengan perlindungan hak cipta, sementara negara-negara yang telah menjadi anggotanya diharuskan membuat undang-undang yang mengatur perlindungan hak cipta.
Undang-undang Hak Cipta memberikan hak kepada individu untuk melindungi hasil ciptaannya, sembari melarang orang lain untuk memanfaatkan ciptaan tersebut kecuali dengan izinnya. Negara harus menjaga ketentuan ini dan menjatuhkan sanksi kepada setiap orang yang melanggarnya. Undang-undang tersebut juga mencakup undang-undang perlindungan (bagi) perusahaan-perusahaan pemegang hak paten. Jadi, kalau ada perusahaan di AS, misalnya, telah mematenkan pembuatan tempe, sedangkan terdapat perusahaan di Indonesia ingin membuat, menjual, serta memperdagangkan termasuk mengekspor tempe ke luar negeri, maka perusahaan ini harus meminta izin dan mengganti kompensasi terhadap perusahaan AS tersebut dengan membayar sejumlah uang sebagai royalti. Jika tidak, perusahaan tersebut dianggap telah pembajakan intelektual, yang pelakunya (termasuk negaranya) dikenakan sanksi amat berat.
Yang dimaksud dengan karya cipta adalah pemikiran atau pengetahuan yang diciptakan oleh seseorang, dan belum ditemukan oleh orang lain sebelumnya, termasuk pengetahuan yang dapat dimanfaatkan dalam bidang perindustrian, produksi barang dan jasa, serta teknologi.
Dengan demikian, orang-orang dan negara-negara kapitalis menganggap bahwa pengetahuan-pengetahuan individu sebagai ‘harta’ yang boleh dimiliki. Siapa pun tidak boleh mengajarkan atau mempelajari pengetahuan tersebut, kecuali atas izin pemegang paten atau ahli warisnya. Jika seseorang membeli buku, ‘disket’ atau ‘kaset’, yang mengandung pemikiran baru, maka ia berhak memanfaatkan sebatas apa yang dibelinya saja, dalam batas-batas tertentu, seperti membaca atau mendengarkan. Dia dilarang untuk memanfaatkannya dalam perkara-perkara lain, seperti mencetak atau menyalinnya untuk diperjualbelikan atau disewakan.
Lalu bagaimana hukum Islam tentang kepemilikan individu (private property) terhadap barang-barang dan pemikiran-pemikiran?
Kepemilikan dalam Islam, secara umum, diartikan sebagai izin Syâri’ (Allah) untuk memanfaatkan barang. Jadi, kepemilikan individu terkait dengan hukum syariat yang mengatur barang atau jasa yang disandarkan kepada individu; yang memungkinkannya untuk memanfaatkan barang dan mengambil kompensasi darinya. Kepemilikan individu dalam Islam ditetapkan berdasarkan hukum syariat atas kepemilikan tersebut dan sebab-sebabnya. Oleh karena itu, hak untuk memiliki sesuatu tidak muncul dari sesuatu itu sendiri atau manfaatnya, tetapi muncul dari izin Syâri’ untuk memilikinya; berdasarkan salah satu sebab kepemilikan yang disyahkan oleh syariat seperti jual-beli, hadiah, waris, dan lain-lain.
Islam telah memberikan kekuasaan kepada individu atas apa yang dimilikinya, yang memungkinkannya untuk memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan syariat. Islam juga telah mewajibkan negara agar memberikan perlindungan atas kepemilikan individu dan menjatuhkan sanksi bagi setiap orang yang melanggar kepemilikan orang lain.
Sementara itu, kepemilikan yang berhubungan dengan pemikiran baru mencakup dua jenis kepemilikan individu. Pertama, sesuatu yang terindera dan teraba, seperti merek dagang dan buku. Kedua, sesuatu yang terindera tetapi tidak teraba, seperti pandangan ilmiah dan pemikiran jenius yang tersimpan dalam otak seorang pakar.
Untuk kepemilikan jenis pertama, seperti merek dagang yang mubah, seorang individu boleh memilikinya, serta memanfaatkannya dengan cara mengusahakannya atau menjualbelikannya. Negara wajib menjaga hak individu tersebut sehingga memungkinkan baginya untuk mengelola dan mencegah orang lain untuk melanggar hak-haknya. Pasalnya, dalam Islam, merek dagang memiliki nilai material, karena keberadaannya sebagai salah satu bentuk perniagaan yang diperbolehkan secara syar’î. Merek dagang adalah Label Product yang dibuat oleh pedagang atau industriawan bagi produk-produknya untuk membedakannya dengan produk yang lain. Mereka tersebut dapat membantu para pembeli atau konsumen untuk mengenal produknya. Definisi ini tidak mencakup merek-merek dagang yang sudah tidak digunakan lagi. Seseorang boleh menjual merek dagangnya. Jika ia telah menjual kepada orang lain, manfaat dan pengelolaannya berpindah kepada pemilik baru.
Untuk jenis kepemilikan kedua, yaitu kepemilikan pemikiran seperti pandangan ilmiah atau pemikiran brilian, yang belum ditulis pemiliknya dalam kertas, atau belum direkamnya dalam disket, atau pita kaset, maka semua itu adalah milik individu bagi pemiliknya. Ia boleh menjual atau mengajarkannya kepada orang lain, jika hasil pemikirannya tersebut memiliki nilai menurut pandangan Islam. Bila hal ini dilakukan, maka orang yang mendapatkannya dengan sebab-sebab syar’î boleh mengelolanya tanpa terikat dengan pemilik pertama, sesuai dengan hukum-hukum Islam. Hukum ini berlaku bagi semua orang yang membeli buku, disket, atau pita kaset yang mengandung materi pemikiran, baik pemikiran ilmiah ataupun sastra. Ia berhak untuk membaca dan memanfaatkan informasi-informasi yang ada di dalamnya. Ia juga berhak mengelolanya, baik dengan cara menyalin, menjual, atau menghadiahkannya. Akan tetapi, ia tidak boleh mengatasnamakan penemuan tersebut kepada selain pemiliknya. Alasannya, pengatasnamaan (penisbahan) kepada selain pemiliknya adalah tindakan dusta dan penipuan, yang diharamkan secara syar’î. Oleh karena itu, hak perlindungan atas kepemilikan pemikiran merupakan hak yang bersifat maknawi, yang hak pengatasnamaannya dimiliki oleh pemiliknya. Orang lain boleh memanfaatkannya tanpa seizin dari pemiliknya. Jadi, hak maknawi ini hakikatnya digunakan untuk meraih nilai akhlak. Akan tetapi, orang-orang kapitalis telah memfokuskan seluruh aktivitas dan undang-undang mereka untuk meraih nilai materi saja. Nilai materi itu pula yang digunakan sebagai tolok ukur (standar) ideologi mereka dalam kehidupan. Bahkan, mereka telah mengabaikan nilai-nilai ruhiah (spiritual), insaniah (kemanusiaan), dan akhlak yang difitrahkan dalam diri manusia untuk meraih nilai-nilai materi. Mereka telah menenggelamkan orang alim dengan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahan.
Syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum-hukum positif, yang membolehkan pengarang buku, pencipta program, atau para penemu untuk menetapkan syarat-syarat tertentu atas nama perlindungan hak cipta, seperti halnya hak cetak dan proteksi penemuan (patent), merupakan syarat-syarat yang tidak syar’î, dan karenanya kita tidak wajib terikat dengannya. Pasalnya, berdasarkan akad jual-beli dalam Islam, seperti halnya hak kepemilikan yang diberikan kepada pembeli, pembeli juga diberi hak untuk mengelola apa yang ia miliki (yang telah ia beli). Setiap syarat yang bertentangan dengan akad syar’î hukumnya haram, walaupun pembelinya rela, meski dengan seratus syarat. ‘Aisyah r.a., dalam hal ini, pernah bertutur demikian:
“Barirah mendatangi seorang perempuan, yaitu seorang mukatab yang akan dibebaskan oleh tuannya jika membayar 9 awaq (1 awaq=12 dirham=28 gr). Kemudian Barirah berkata kepadanya, “Jika tuanmu bersedia, aku akan membayar untuk mereka jumlahnya, maka loyalitasmu akan menjadi milikku.” Mukatab tersebut lalu mendatangi tuannya, dan menceritakan hal itu kepada mereka. Kemudian mereka menolak dan mensyaratkan agar loyalitas (budak tersebut) tetap menjadi milik mereka. Hal itu kemudian diceritakan ‘Aisyah kepada Nabi saw. Rasulullah saw. bersabda: “Lakukanlah.” Kemudian Barirah melaksanakan perintah tersebut dan Rasulullah saw. berdiri, lalu berkhutbah di hadapan orang-orang. Beliau segera memuji Allah dan menyanjung nama-Nya. Selanjutnya, beliau bersabda,
“Tidak akan dipedulikan seseorang yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam Kitabullah.” Kemudian, beliau bersabda lagi, “Setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka syarat tersebut adalah bathil. Kitabullah lebih berhak, dan syaratnya (yang tercantum dalam Kitabullah) bersifat mengikat. Loyalitas dimiliki oleh orang yang membebaskan.”
Mantûq (teks) hadis ini menunjukkan bahwa syarat yang bertentangan dengan apa yang tercantum dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul tidak boleh diikuti. Selama syarat perlindungan hak cipta menjadikan barang yang dijual (disyaratkan) sebatas pada suatu pemanfaatan tertentu saja, tidak untuk pemanfaatan yang lain, maka syarat tersebut adalah batal dan bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Alasannya, keberadaannya bertentangan dengan ketetapan akad jual-beli syar’î yang memungkinkan pembeli dapat mengelola dan memanfaatkan barang dengan cara apa pun yang sesuai dengan syariat, seperti: jual-beli, perdagangan, hibah, dan lain-lain. Syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal adalah syarat yang batil berdasarkan sabda Rasulullah saw. berikut:
"Kaum Muslim terikat dengan syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal dan menghalalkan yang haram."
Dengan demikian, tidak dikenal di dalam Islam adanya istilah hak cetak, menyalin, atau proteksi atas suatu penemuan. Setiap individu berhak atas hal itu (memanfaatkan produk-produk intelektual). Pemikir, ilmuwan, atau penemu suatu program berhak memiliki pengetahuannya selama pengetahuan tersebut adalah miliknya dan tidak diajarkan kepada orang lain. Akan tetapi, setelah mereka memberikan ilmunya kepada orang lain dengan cara mengajarkan, menjualnya, atau dengan cara lain, maka ilmunya tidak lagi menjadi miliknya. Dalam hal ini, kepemilikannya telah hilang dengan dijualnya ilmu tersebut, sehingga mereka tidak berwenang melarang orang lain untuk memanfaatkannya; yaitu setelah ilmu tersebut berpindah kepada orang lain dengan sebab-sebab yang dibolehkan oleh syariat, seperti dengan jual-beli atau yang lainnya.
Sesungguhnya Undang-undang Perlindungan Hak Cipta merupakan salah satu cara penjajahan ekonomi dan peradaban yang telah digulirkan oleh negara-negara kapitalis besar kepada negara-negara di seluruh dunia melalui WTO. Setelah negara-negara tersebut berhasil menguasai teknologi—yakni pengetahuan yang berhubungan dengan industri, produksi barang dan jasa—mereka membuat undang-undang agar bisa ‘menimbun’ pengetahuan-pengetahuan tersebut dan mencegah negara-negara lain mengambil manfaat hakiki dari penemuan tersebut; agar negara-negara lain tetap menjadi pasar konsumtif bagi produk-produk mereka dan tunduk di bawah pengaturannya; juga agar mereka bisa mencuri kekayaan dan sumberdaya alam negara-negara kecil atas nama investasi dan globalisasi. Wallâhu a’lam.


[1] Lihat, http://www.ananswer.org/mac/answeringpluralism.html, 11/06/05.
[2] Q.s. 3: 19.
[3] Q.s. 3: 85.

Related Posts On artikel islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Copyright © Wawasan Ipteks

Sponsored By: Free For Download Template By: Fast Loading Seo Friendly Blogger Template